Komisi Yudisial dalam Menjaga dan Menegakkan Kehormatan Hakim
Sebagai
negara hukum, kita tahu bahwa seluruh kegiatan bernegara di pagari oleh aturan,
baik itu berbentuk peraturan perundang-undangan maupun Kode etik. Dan sebagai
negara hukum indonesia memiliki Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai
pelaksana kekuasaan Kehakiman, dan disamping itu dapat di pahami bahwa jabatan
hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan yang harus di hormati, dijaga
dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri,
yaitu Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial (KY)
adalah lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, komisi Yudisial bukanlah
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bersih dan berwibawa.
Komisi Yudisial dibentuk dengan dua kewenangan
konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka mengoperasionalkan
keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Eksistensi lembaga negara ini semakin nyata setelah
tujuh orang Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 mengucapkan sumpah di
hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Agustus 2005. Sejak saat itu,
kehadiran Komisi Yudisial semakin nyata dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Namun dalam perjalanan tugasnya, Komisi Yudisial mengalami
dinamika. Antara lain pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 ke
Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah hakim agung. Melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim
dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan
tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah
mengajukannya.
Sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang Komisi
Yudisial melalui putusannya yang keluar pada tahun 2006, Komisi Yudisial dan
sejumlah elemen bangsa yang mendukung peradilan bersih, transparan, dan
akuntabel melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan peran Komisi Yudisial
sesuai harapan masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan merevisi Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perubahan undang-undang ini berpengaruh
terhadap penguatan wewenang dan tugas Komisi Yudisial.[1]
Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan
Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut
memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial, antara lain :
melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya
peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum
dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan
pemanggilan paksa terhadap saksi.
Disahkannya undang-undang tersebut merupakan
konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai
lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang
kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan apa yang harus dilakukan Komisi
Yudisial dalam rangka pengawasan hakim:
1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim dilakukan pengawasan
eksternal oleh Komisi Yudisial.
2. Dalam melakukan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Menjaga dan Menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebut Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan refresif. ‘Menjaga’
berarti Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim
agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku
hakim. ‘Menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif
terhadap hakim yang telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(“KEPPH”). Tindakan itu dapat berbentuk pemberian sanksi.
Dalam hal ini juga perlu kita ketahui bahwa dalam
menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial harus memiliki
kebebasan dan kekuasaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Namun tak jarang kita temukan dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial tidak mendapat
respon dan apresiasi yang baik dalam penyampaian kritiknya terhadap lembaga
peradilan dan atau terhadap prilaku hakim.
Sekalipun
kewenangan pengawasan oleh Komisi Yudisial terbatas pada KEPPH, namun pada sisi
lain Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengupayakan peningkatan
kapasitas dan kesejahteraan hakim. Dalam hal ini, sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, kewenangan Komisi Yudisial yang
terdapat pada ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 “seharusnya tidak
semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika
profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945”. 12 Amanat
Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 adalah berkaitan dengan kualifikasi “Hakim agung
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”. Oleh karena itu, pembinaan
etika profesional yang dimaksud juga menyangkut upaya untuk meningkatkan
kapasitas “profesional dan berpengalaman di bidang hukum”. Artinya, sesuai
dengan amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, maka tugas Komisi Yudisial untuk
mengupayakan peningkatan kapasitas tidak hanya dibatasi dalam KEPPH, tetapi
untuk peningkatan kapasitas profesional dan pengalaman di bidang hukum. Oleh
karenanya, peningkatan kapasitas hakim harus dilakukan baik dalam upaya
meningkatkan kapasitas hakim dalam memahami dan melaksanakan KEPPH, melainkan
juga dalam peningkatan kapasitas selain KEPPH yang terkait aspek profesional
dan pengalaman dalam bidang hukum.[2]
[1]
Situs Komisi Yudisial RI.
[2]
Aidul Fitriciada Azhari, Harmonisasi Kewenangan Komisi Yudisial: Dinamika
Tafsir dan Perubahan Aturan, Diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia Cetakan Pertama, Agustus 2016, Halaman 21-22
