Pengaruh Globalisasi Terhadap Tatanan Hukum di Indonesia
Globalisasi yang
menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa batas di
antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh
kehidupan manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh
globalisasi dalam bidang hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah
Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Agremeent
Establishing The World Trade Organization (WTO).
Ratifikasi terhadap WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah
konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus mengharmonisasikan seluruh hukum
nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, bidang-bidang hukum yang harus diharmonisasikan dengan
kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum perdagangan, investasi atau penanaman
modal serta bidang hukum hak atas kekayaan intelektual. Hal ini sesuai dengan
lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General Agremeent on Tarif and
Trade (GATT), Agreement on Trade Related
Investment Measures (TRIMs)
dan Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
sebagai perjanjian yang wajib ditaati oleh setiap negara anggota WTO.
Upaya pengharmonisasian
hukum sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai
produk hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia merupakan sebuah
negara yang lahir di atas paham komunal sementara kaidah-kaidah dalam WTO
merupakan kaidah yang berasal dari corak kehidupan liberal negara maju.
Berbagai produk hukum
yang lahir sebagai konsekuensi ratifikasi WTO Agreement tersebut telah menimbulkan pengaruh
yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang ekonomi.
Sebagai contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian pemerintah Indonesia
menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama di bidang Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang
perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan
jiwa bangsa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang
ekonomi ini bersifat liberal bahkan beberapa kalangan menyebutnya sebagai
produk hukum yang bercorak kapitalis.
Kondisi demikian
tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa Indonesia terutama
pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian dapat
menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan
masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain,
globalisasi yang telah memberikan pengaruh besar terhadap tatanan hukum
di Indonesia haruslah dijaga agar jangan sampai menimbulkan kerugian bagi
bangsa Indonesia itu sendiri.[1]
Apabila pembahasan
mengenai pengaruh globalisasai sebagaimana tersebut di atas kemudian dikaitkan
dengan pengkajian Prof. Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa kondisi
hukum dalam negara Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi
kedaulatan politik yang lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai
produk hukum yang lahir pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan politik yang dalam hal ini sangat erat dengan bidang
ekonomi. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingginya tingkat
perdagangan dunia dan penanaman modal seperti saat ini, seolah telah menjadi
rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh bisnis ke dalam pembuatan
produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’ sebagai suatu pembenaran
mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau setidaknya dapat
diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk hukum di negeri ini
memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum
nasional yang baik menurut Prof. Sardjipto Raharjo adalah suatu tatanan
politik hukum yang mampu mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order
sebagaimana dimaksud adalah transedental
order, sociological order serta political order. Yang dimaksud
dengan transedental order dalam hal ini adalah suatu order atau
tatanan yang bersumber pada hukum yang berasal dari Tuhan termasuk hukum agama
dan hukum alam.
Menurut transedental
order ini, kedaulatan hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena
kedaulatan hukum berada di tangan Tuhan. Sementara itu berdasarkan pada sociological order maka kedaulatan hukum seharusnya
dipegang atau berada di tangan rakyat. Hukum dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan
kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat.
Berbeda dengan kedua
order tersebut, di dalam political
order hukum dipandang sebagai
produk politik. Oleh karena hukum merupakan produk politik maka yang terjadi
kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum. Apabila dikaitkan
dengan negara Indonesia sebagai negara hukum maka hal demikian seharusnya tidak
perlu terjadi mengingat Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya hukum
menjadi supremasi tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia
tak terkecuali bidang politik.[2]
Pengaruh globalisasi
dalam tatanan hukum nasional Indonesia yang sedemikian besar tentu tidak dapat
dibiarkan begitu saja. Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan
adanya keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan
hukum nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami
mengingat globalisasi merupakan suatu gejala yang tidak dapat ditolak
ataupun dihindari oleh negara mana pun yang tidak ingin terkucil dalam
percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang
demikian, penulis berpendapat bahwa yang dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia
saat ini adalah melakukan berbagai upaya dalam rangka memaksimalkan daya saing
dengan memanfaatkan berbagai pengecualian atau ketentuan-ketentuan khusus dalam
hal ini adalah aturan-aturan khusus sebagaimana terdapat di dalam WTO agreement. Dengan perkataan
lain, ketentuan-ketentuan dalam WTO agreement tidaklah bersifat mutlak bagi
seluruh anggotanya melainkan masih terdapat keringanan atau perlakukan khusus
bagi kelompok negara berkembang dan negara terbelakang. Sebagai contoh misalnya
pemberlakuan prinsip Most
Favoured Nation (MFN) yang
oleh sebagian kalangan dirasa tidak adil sebenarnya memiliki pengecualian
berlakunya bagi negara-negara berkembang.
Dengan demikian,
tidaklah bijak kiranya apabila terdapat sebagian kalangan yang menempatkan
pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bersalah atau keliru dalam tindakan
ratifikasi terhadap WTO Agreement sebagai pintu masuk bagi arus
globalisasi yang nyata di negeri ini. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana
bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama berkaitan dengan
pembangunan hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional yang ideal
sebagaimana menurut Prof. Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan hukum yang di
dalamnya mencakuptransedental order, sociological
order serta political order. [3]
Dengan demikian,
apabila pembangunan hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum
yang ideal maka hukum dapat menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan
nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Namun demikian, political
will dari pemerintah
merupakan modal utama bagi terwujudnya pembangunan hukum nasional yang
demikian.
[1] Turiman. Memahami
Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma ‘Tawaf’ (Sebuah
Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/ Grounded
TheoryMengIndonesia),
[2] Peter Van Den Bosch. The Law and Policy of the World
Trade Organization; Text,
Cases and Materials. Cambridge University Press. 2005
[3] Turiman. Memahami
Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma ‘Tawaf’ (Sebuah
Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi/ Grounded TheoryMengIndonesia),
0 komentar:
Posting Komentar