HUBUNGAN HUKUM PELAKU USAHA DAN KONSUMEN
Hubungan hukum (rechtbetrekkingen)
adalah hubungan antara dua subyek hukum atau lebih mengenai hak dan
kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Hubungan hukum dapat terjadi antara sesama subyek hukum dan antara subyek hukum
dengan benda. Hubungan antara sesama subyek hukum dapat terjadi antara orang,
orang dengan badan hukum, dan antara sesama badan hukum. Hubungan hukum antara
subyek hukum dengan benda berupa hak apa yang dikuasai oleh subyek hukum itu
atas benda tersebut, baik benda berwujud, benda bergerak, atau benda tidak
bergerak. Dalam Artikelnya (Dewa Gede Ari Yudha Brahmanta) mengatakan hubungan
hukum memiliki syarat-syarat yaitu adanya dasar hukum dan adanya pristiwa
hukum.
Hubungan antara
produsen dengan konsumen dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai
Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian sebagaimana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam pengertian tersebut diatas,
terdapat unsur-unsur: perjanjian, penjual dan pembeli, harga, dan barang.
Dalam hubungan langsung
antara pelaku usaha dan konsumen terdapat hubungan kontraktual (perjanjian).
Jika produk menimbulkan kerugian pada konsumen, maka konsumen dapat meminta
ganti kerugian kepada produsen atas dasar tanggung jawab kontraktual (contractual
liability). Seiring dengan revolusi industri, transaksi usaha berkembang ke
arah hubungan yang tidak langsung melalui suatu distribusi dari pelaku usaha,
disalurkan atau didistribusikan kepada agen, lalu ke pengecer baru sampai
konsumen. Dalam hubungan ini tidak terdapat hubungan kontraktual (perjanjian)
antara produsen dan konsumen.
Akibat hukum akan
muncul apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya dengan baik dan
konsumen akan melakukan keluhan (complain) apabila hasil yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian pada saat transaksi jual beli yang telah
dilakukan. Dalam suatu kontrak atau perjanjian apabila pelaku usaha dapat
menyelesaikan kewajibannya dengan baik maka pelaku usaha telah melakukan
prestasi, tetapi jika pelaku usaha telah lalai dan tidak dapat menyelesaikan kewajibannya
dengan baik maka akan timbul wanprestasi.
Wanprestasi atau cidera
janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
telah disepakati didalam kontrak. Tindakan wanprestasi ini membawa konsekuensi
timbulnya hak dari pihak yang dirugikan, menuntut pihak yang melakukan
wanprestasi untuk memberikan ganti rugi atau penggantian. Ada tiga macam bentuk
wanprestasi yaitu: wanprestasi tidak memenuhi prestasi, wanprestasi terlambat
memenuhi prestasi, dan wanprestasi tidak sempurna memenuhi prestasi.
Pengaturan
hukum bagi pelaku usaha dan konsumen agar memberikan kepastian untuk menjaga
hak dan kewajiban dalam melaksanakan peran masing-masing, baik sebagai pelaku
usaha maupun konsumen serta memberikan keadilan bagi masing-masing pihak.
(Muhamad Erwin, 2013: 53) Mengatakan
nilai pertama yang harus di jamin oleh hukum adalah keadilan, pembukaan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjamin bahwa dalam mencapai tujuan negara
haruslah antara lain berdasarkan keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan
keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur ekonomis, politis, budaya
dan ideologis
Begitu juga
pengaturan hukum bagi pelaku usaha dan konsumen berfungsi untuk patokan serta
harus ditaati oleh pelaku usaha maupun konsumen dalam melaksanakan kewajiban
masing-masing serta untuk menjamin hak-hak baik hak pelaku usaha maupun hak
konsumen yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen ataupun perjanjian atau perikatan yang telah
masing-masing pihak telah sepakati.
Secara umum
dan mendasar hubungan antara produsen (perusahaan penghasil barang dan/atau
jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari barang dan/atau jasa untuk diri
sendiri atau keluarganya) merupakan hubungan yang terus menerus dan
berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling
menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang
satu dengan yang lain.
Berkaitan dengan hal
tersebut, hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen telah terjadi
ketika pelaku usaha memberikan janji-janji serta informasi-informasi terkait
barang dan/atau jasa, karena sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para
pihak, baik pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum tersebut didasarkan pada
Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), dimana
pelaku usaha telah sepakat terhadap apa yang dijanjikan pada saat memberikan
janji-janji pada sebuah iklan, ataupun selebaran atau brosur, sehingga
janji-janji tersebut akan berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang
membuatnya. Peristiwa hukum yang terjadi terhadap pelaku usaha dengan konsumen
tersebut adalah perdagangan baik barang ataupun jasa.