Kedudukan Hukum Putusan Persidangan Melalui Video Conference di Mahkamah Konstitusi.

1.    Putusan Mahkamah Konstitusi.
            Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 dan Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undnag Nomor24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kewenangan itu, Mahkamah Konstitusi dapat menguji dan bahkan membatalkan suatu undang-undang apabila diyakini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
          Jika bertentangan, Hakim konstitusi dapat memberikan putusan yang bersifat final yang menyatakan sebahagian materi atau undang-undang itu dapat dinyatakan tidak dapat berlaku lagi untuk umum. Konsekwensinya, semua pihak harus mematuhi perubahan keadaan hukum yang diciptakan melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan mengimplementasikannya.
  Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.Dalam pengertiannya putusan merupan hal memiliki aturan tertentu, salah satunya di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan dalam perdilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat Negara berwenang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan di buat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang di hadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu merupakan tindakan Negara yang di mana kewenangannya di limpahkan kepada hakim baik berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang.[1]
Dalam bidang peradilan, putusan menduduki peran penting dalam keseluruhan proses peradilan, oleh karena itu, putusan pengadilan merupakan unsur penting dalam sebuah proses penegakan hukum demi terciptanya hukum dan keadilan. Putusan itu sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai keputusan akhir atas hasilpemeriksaan terhadap suatu perkara. Menurut Maruarar Siahaan putusan dalam suatu peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat Negara yang berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk menggakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Perbuatan hukum (putusan) hakim yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya merupakan tindakan Negara yang kewenangannya berdasar pada Undang-Undang Dasar maupun undang-undang.
Pendapat senada dikemukakan pula oleh Sudikno Mertokusumo yang mengartikan putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu,diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan  sebelum diucapkan di persidangan tidak boleh berbeda dengan yang tertulis.
Dengan merujuk pendapat di atas,dapatlah dikatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi merupakan refleksi pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau undang-undang untuk memutuskan sengketa yang diajukan oleh para pemohon yang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya suatu undang-undang.Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan atas suatu permohonan dari pemohon/para pemohon yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa,diadili,dan diputus oleh para hakim konstitusi untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Dalam memberikan putusan berkenaan dengan pengujian konstitusional suatu undang-undang,  landasan putusan Mahkamah Konstitusi harus merujuk pada ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.Ada beberapa hal fundamental yang diatur dalam pasal tersebut berkenaan dengan kekuasaan para hakim yang akan melahirkan sebuah putusan pada pengujian undang-undang sebagai berikut:
1.    Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang          Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
2.    Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti.
3.    Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
4.    Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
5.    dalam sidang permusyawaratan,setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
6.    dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4 tidak dapat menghasilkan keputusan,musyawarah di tunda sampai musyawarah sidang pleno hakim kontitusi berikutnya
7.    dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat,putusan diambil dengan suara terbanyak.
8.    dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 7 tidak dapat diambil dengan suara terbanyak,suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
9.    putusan Mahkamah Konstitusi dapat di jatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberi tahukan kepada para pihak.
10.     dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagiman dimaksud pada ayat 7 dan ayat 8 pendapat anggota majelis hakim yang berbeda yang dimuat di dalam putusan.

Ketentuan Pasal undang-undang Mahakamah Konstitusi diatas menyebutkan tentang dasar, prosedur, atau mekanisme, dan tatacara pengambilan putusan secara musyawarah untuk mufakat di lingkungan majeliss hakim konstitusi. Beberapa hal fundamental yang menjadi titik tolak putusan mahkamah konstitusi tersebut dapat di pandang sebagi instrumen  penuntun bagi hakim konstitusi yang akan memberikan putusan untuk mengakhirio sengketa konstitusional suatu undnag-undnag yang di ajukan kepadanya.
Dasar yang di pergunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara adalah Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Alat bukti dan keyakinan hakim merupakan syarat kumulatif yang harus di penuhi untuk sahnya atau terbuktinya suatu peristiwa dalam pembuktian putusan mahkamah konstitusi juga wajib mengungkap fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum dari putusan tidak lain adalah alasan alasan hakim sebagai pertanggungjawaban mengapa ia mengambil putusan demikian sehingga putusan tersebut mempunyai nilai objektif.
Hal terpenting bahwa putusan hakim konstitusi harus di ambil dalam rapat permusyawaratan hakim dalam sidang pleno hakim konstitusi yang di pimpin oleh ketua sidang. Dalam proses pengambilan putusan , setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. Putusan harus diupayakan semksimal mungkin di ambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat di capai mufakat, musyawarah di tunda sampai rapat permusyawaratan hakim (RPH) berikutnya. Apabila tetap tidak di capai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanayak.
Selain putusan, Mahkamah Konstitusi juga mengeluarkan ketetapan yang dalam peradilan biasa di kenal dengan istilah penetapan (beshicing). Untuk ketetpan yang dibuat Mahkamah Konstitusi menurut Maruarar merupakan upaya penyelesaian sengketa yang menyangkut dicabutnya permohonan atau karena setelah dipanggil pemohon tidak hadir sehingga pemohon dinaytakan gugur. Akan tetapi, ketetapan juga dapat dikeluarkan mahkamah sebagi putusan persiapan (praetoir) yang hanya untuk mempersiapkan pemeriksaan yang efektif, misalnya untuk mengabulkan dua atau lebih perkara permohonan.[2]
Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diperjelas dalam Pasal 33 Perturan Mahkamah Konstitusi Nomor06/PMK/2005. Syarat putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat antara lain sebagai berikut:
1.    Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
2.    Identitas pihak.
3.    Ringkasan pemohon.
4.    Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.
5.    Amar putusan.
6.    Hari dan tanggal putusan Serta nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta panitera.
7.    Pendapat berbeda dari hakim.
Syarat yang tertera dalam putusan tersebut jika dilanggar maka ada ketentuan hukum yang telah di atur.[3]
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai hal salah satunya adalah mengeluarkan kebijakan, diantaranya:
1.    Putusan provisi dalam perkara pengujian Undang-Undang.
            Berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Undang-Undang Yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.Menyangkut pembentukan Undang-Undang yang diduga berkait atas suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 16 perturan Mahkamah Konstitusi Nomor06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam pengujian Undang-Undang.
            Relevansi dan Signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hak asasi manusia apabila suatu Norma hukum di terapkan sementara pemeriksaan atas permohonan masih berjalan padahal Hak-hak Konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir.
2.    Putusan Ultra Petita (Ultra Vires) dalam pengujian Undang- Undang.
            Mahkamah Konstitusi dapat menjatuhkan putusan yang dapat dikualifikasikan sebagai putusan Ultra petita/Ultra Vires, yaitu memberikan putusan lebih dari yang diminta oleh pemohon. Hal ini dilakukan pada saat menguji pasal 14 ayat (1) Undang-Undang MPR,DPR,DPD, Dan DPRD yang menyatakan “Pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) Orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD,yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR ”Pasal aquo dianggap merugikan hak-hak konstitusional para pemohon sebagai warga negara anggota MPR yang dijamin oleh pasal 2 ayat (1),dan Pasal 27  ayat (1), Pasal 28D ayat (1),dan pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dirugikan.
Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, Majelis Permusywaratan Rakyat terdiri atas dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang di pilih melauli pemilihan umumdan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.[4]  Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk menguji undang-undang, Hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor24 Tahun 2003 yang kini diganti dengan Undang-Undang Nomor8 Tahun 2011 hanya mengenal 3 (tiga) jenis putusan yaitu:
a.    Permohonan tidak dapat diterima dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang,yakni permohonan bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan/atau pemohon tidak memenuhi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon dalam pengujian Undang-Undang.
b.    Permohonan dikabulkan dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan sehinga akibatnya Mahkamah Konstitusi harus menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang diuji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian juga dalam hal pembentukan undang-undang dalam hal tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang  berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
c.    Permohonan ditolak dalam hal undang-undang yang diuji baik pembentukannya maupun materinya sebagian atau seluruhnya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam praktek pengujian Undang-Undang selama 6 (enam) tahun (2003-2009), Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya terbatas pada ketiga jenis putusan tersebut, Ketiga jenis putusan yang ditentukan dalam hukum acara Mahkamah Konstiusi telah bermetamorfosis dalam putusan yang dikenal dalam yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dan mahkamah konstitusi negara lain dengan istilah conditionally constituonal  dan conditionally unconstitusional.[5]
1.    Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas kebanyakan terutama jenisnya pada pengujian Undang-Undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut meniadakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu  keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator, yang disebut Hans Kalsen adalah melalui suatu pernyataan. Sifat deklaratoir tidak memerlukan suatu aparat yang melakukan suatu pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.
Sama-sama kita ketahui bahwa putusan Mahkmah Konstitusi bersifat final dan binding, dan berlaku bagi setiap orang termasuk penguji undang-undang tersebut jika ada keterkaitannya. Namun, fakta menyebutkan bahwa putusan final dan mengikat tersebut sering tidak direspon positif oleh organ pembentuk undang-undang dan pemerintah yang berkuasa. Bahkan tidak jarang putusan itu memperoleh tantangan sengit dari segelintir aktor-aktor Negara sehingga besar kemungkinan putusan Mahkamah Konstiitusi tidak implementatif.
Hal ini mengandung arti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi selalu dihadang oleh berbagai kompleksitas permasalahan yang mengemuka di tahap aplikasi putusan final. Putusan Mahkamah Konstitusi kerap mempertontonkan adanya suatu disparitas antara tahap pembacaan dan dan implementasi putusan final sehingga pasca putusan final, organ pengawal konstitusi sepertinya berada dalam ruang hampa tanpa tindakan apapun. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya mempunyai akan kekuatan simbolik yang sebatas menghiasi lembaran berita Negara.[6]
            Selain itu, isi putusannya kerap menimbulkan kebingungan karena tidak adanya kekuatan eksekutorial dari putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Mahkamah konstitusi tidak dilengkapai dengan aparat atau organ yang melaksanakan putusan itu secara paksa. Pada sisi inilah putusan Mahkamah Konstitusi potensial tidak implementatif.
            Putusan Mahkamah Konstitusi takala diabaikan dan tidak dilaksanakan, justru putusan tersebut menjadi mengambang (floating eksekusion) dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, dalam prespektif Negara hukum yang demokratis, diimplementasikannya putusan Mahakamah Konstitusi merupakan suatu kewajiban hukum, apalagi jika berkaitan dengan pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara yang dijamin dan dilindungi oleh Undnag-Undang Dasar 1945.[7]
Dengan amar putusan yang menyatakan bagian Undang-Undang pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, putusan tersebut telah mempunyi kekuatan hukum  yang mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebagai syarat  untuk diketahui secara umum, putusan demikian, diumumkan dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh hari) sejak putusan diucapkan. Tidak diperlukan aparat untuk melaksananakan putusan tersebut, Karena sifatnya hanya deklaratoir. Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum,dapat mempunyai 3(tiga) kekuatan yaitu,
a.    Kekuatan Mengikat.
            Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara Konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir  yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
b.    Kekuatan Pembuktian.
Pasal 60 undang-undang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan ayat,pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidakdapat diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji suatu undang-undang, merupakan alat bukti yang didapat digunakan bawa sudah diperoleh suatu kekuatan hukum pasti. Dalam perkara  Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat erga omes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun.
c.    Kekuatan Eksekotorial.
            Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang, tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
2.    Akibat Hukum Putusan Mahkamah Kostitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstusi “undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Akibat hukum dari pelaksanan pengujian suatu undang-undang terhadap undang-Undang dasar 1945 maka dapat dibagi dalam:
a.    Akibat hukum terhadap perkara terkait.
Pasal 58 Undang-Undang 24 Tahun 2003 yang kini diganti menjadi Undang-Undang  Nomor8 tahun 2011 menyatakan bahwa undang-undang yang di uji oleh mahakmah konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD1945.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut berarti dengan di daftarkannya suatu permohonan perkara pengujian undang-undang melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi, tidak menghentikan daya berlakunya undnag-undamg tersebut yang telah diundangkan dan dinyatakan beralaku mengikat untuk umum. Undang-undang yang sedang di uji di mahkamah konstitusi tetap sah untuk di jadikan dasar penentuan, dasar gugatan, serta dasar pengambilan putusan sampai undang-undang tersebut dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat.[8]
Setelah suatu pengujian atas undang-undang di putus final, maka seperti yang telah di tetapkan dalam Pasal 47 Undang-Undang  Nomor24 Tahun 2003 yang kini diubah menjadi Nomor8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan itu mempunyai langsung berlaku mengikat sejat diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, dan keberlakuannya bersifat prospektif kedepan, dan bukan berlaku kebelakang. Semua perbuatan hukum yang sebelumnya di anggap sah atau tidak sah secara hukum, tidak berubah menjadi tidak sah atau sah karena putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku mengikat sejak pengucapannya dalam sidang pleno terbuka untuk umum Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatahn hukum mengikat, adalah perbuatan hukum yang sah secara hukum, termasuk akibat-akibat yang ditimbulakan dari perbuatan hukum tersebut juga dinyatakan sah secara hukum.
b.    Akibat hukum terhadap peraturan terkait.
Telah diketahui bahwa mahkamah konstitusi hanya berwenang melakukan pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945, sedangkan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan lain dibawah undang-undang terhadap undang-undang berada di tangan Mahkamah Agung, ternyata hal ini menimbulkan persoalan dalam rangka pelaksanaan pengujian sesuatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Hal ini dikarenakan dapat saja terjadi bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang dimaksud merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Untuk mengatasi hal tersebut maka diatur dalam pasal 53 UU Nomor 24 tahun 2003 yang menyatakan bahwa: Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-undang dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak permohonan tersebut dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi
Ketentuan ini penting karena agar Mahkamah Agung dapat mengetahui dengan segera mungkin mengenai adanya pengujian terhadap suatu undang-undang, agar proses pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung dihentikan jika undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa: “Pengujian peraturan Perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang dijadikan dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.” Hal tersebut sangat penting karena jika kedua perkara tersebut tidak dihentikan dan terus di periksa baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Mahkamah Konstitusi, maka akan menimbulkan komplikasi hukum jika hasilnya saling bertentangan.
Menurut analisa Jimly Asshiddiqie dalam iriyanti A.Baso Ence, jika tidak dihentikan dan kedua perkara itu terus diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hasil pemeriksaan kedua lembaga itu dapat menimbulkan komplikasi hukum jika hasilnya saling bertentangan. Dapat terjadi masalah jika peraturannya bertentangan dinyatakan oleh Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi undang-undang yang bersangkutan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Khusus pengujian undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD oleh Mahkamah konstitusi, sehingga akibat putusan nya tidak ditemukan terkait dengan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 12 tahun 2003. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya berakibat hukum pada Undang-Undang No. 12 tahun 2003, yaitu putusan yang menyatakan pasal 60 huruf g undang-undang No. 12 tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Akibat hukum lebih jauh dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang No. 12 tahun 2003 adalah menciptakan keadaan hukum baru yang membolehkan negara, khususnya calon-calon anggota DPR, DPD dan DPRD yang bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi organisasi terlarang lainnya, untuk ikut pemilihan umum. Dengan demikian eksistensi pasal 60 huruf g Undang-undang No. 12 tahun 2003 yang mengatur persyaratan calon anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota secara teknik yuridis tidak dapat lagi dijadikan sebagai dasar hukum sejak putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap, yakni selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini diatur dalam pasal 47 undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.    Akibat hukum terhadap subjek dan perbuatan hukum sebelum putusan
Berdasarkan ketentuan pasal 47 UU No. 24 tahun 2003 dinyatakn bahwa: putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka putusan Mahkamah Konstitusi berlaku prospektif kedepan dan tidak berlaku kebelakang, jadi semua subjek hukum dan perbuatan hukum dan akibat nya yang dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang yang belum mendapatkan putusan yang punya kekuatan hukum tetap dari Mahkamah Konstitusi, dinyatakan tetap sah berlaku secara hukum sebelum ada putusan mahkamah konstitusi yang mempunya kekuatan hukum tetap.
Segala perbuatan hukum yang telah dilakukan berdasarkan undang-undang No. 45 tahun 1999 sebelum dinyatakan tidak lagi mengikat, adalah sah menurut hukum dan konstitusi. Persyaratan yang diberikan untuk memastikan apakah perbuatan hukum itu sah atau tidak adalah apakah perbuatan itu sebagai satu rangkaian perbuatan hukum sudah selesai dilaksanakan atau belum.
Putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,tidak boleh berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu di hitung sejak putusan tersebut diucapkan sejak sidang diucapkan terbuka untuk umum. Oleh karena itu akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu undang-Undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[9]
3.    Mekanisme Pengambilan Putusan Oleh Mahakamah Konstitusi.
Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.[10] Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai rapat permusyawaratan hakim berikutnya.Apabila tetap tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pengambilan keputuan dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat, apabila tidak mencapai mufakat maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.namun apabila tidak dapat dilakukan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak,maka suara terhakir ketua mahkamah menentukan kecuali di tentukan lain oleh Mahkamah.[11]
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim, disertai dengan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Penetapan putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan metode Rapat Permusyawaratan Hakim yang diselenggarakan untuk mencapai kemufakatan putusan perkara, dan jika menemukan jalan buntu (dead lock) majelis hakim menggunakan cara pemungutan suara terbanyak para hakim. Dan putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap (finalatau erga omnes, danself executing) sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Dalam membuat pertimbangan atas putusannya, Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai pemegang posisi tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, agar putusannya menimbulkan rasa adil. Selain itu, Mahkamah Konstitusi dapat merujuk pada teori-teori yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa, dan risalah-risalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas khusus untuk itu.
Selain hal-hal tersebut di atas yang bersifat normatif atau merujuk pada hal-hal yang diatur khusus untuk itu, Mahkamah Konstitusi dapat juga menggunakan putusan pengadilan (yurisprudensi), kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, serta kebiasaan masyarakat internasional (international customary law atau jus cogens). Dalam pengadilan Indonesia, yurisprudensi atau jus cogens tidak berlaku secara imperatif. Dan dalam kenyataannya yurisprudensi tidak banyak ditemukan. Selanjutnya dipertegas oleh Jimly bahwa dalam sistem hukum Indonesia, Syarat putusan pengadilan:
a.    Harus sudah merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs)
b.    Dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak bersangkutan,
c.    Putusan yang harus sudah berulang beberapa kali atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah.
d.   Norma yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis yang berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas, dan
e.    Putusan itu dinilai telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap.
Untuk diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat tetap, putusan pengadilan harus memenuhi kelima persyaratan tersebut secara kumulatif. Namun demikian, sekali putusan pengadilan itu benar-benar dianggap sebagai yurisprudensi, maka bagi para hakim di pengadilan, statusnya dianggap sebagai salah satu sumber hukum yang mengikat seperti halnya undang-undang.[12]




[1] Maruarar Siahaan. Op.Cit. halaman  201
[2] Bachtiar. Op. Cit. halaman 147-152.
[3] Maruarar Siahaan. Op Cit. halaman 208-209.
[4] M. Arsyad Sanusi.Op Cit.  halaman 618-620.
[5]Ibid.halaman 799-813.
[6] Bachtiar. Op. Cit. halaman 18.
[7] Bachtiar. Op. Cit. halaman 19.
[8] Moh. Yuhdi, “ Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Melaksanakan Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) Di Indonesia”. http://fh.Wisnuwardhana.ac.id/index. php?option=com_content&task=view&id=67&Itemid=1,diakses jum’at 4 maret 2012.
[9] Maruarar Siahaan. Op Cit, halaman 212-219.
[10]Ibid.  halaman. 240. 
[11] Badriah khaleed. Op. Cit halaman 46.
[12] Rizal,tentang Mahkamah Konstitusi”.  https://mmgultom.wordpress.com/2014/05/23/ /, Diakses jum’at, 12 januari 2016 pukul 19-00.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar