Supremasi hukum di Indonesia

Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”. 
Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi. Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati. 
Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara. Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima(2003:1). 
Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur(fair play).  Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan ide tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima.
Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku criminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum. 
Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977). Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13).  Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).
Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati. Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit. Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi. Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di rana empiris
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagi cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antara mastarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyedikan kerangka kerja bagi pencipta hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Filosof Aristotelse menyatakan bahwa “sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan  peraturan tirani yang merajalela”.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa ini adalah tidak adanya kepastian hukum. Belum terciptanya law enforcement di negeri ini terpotret secara nyata dalam lembaga peradilan. Media masa bercerita banyak tentang hal ini, mulai dari mafia peradilan, suap ke hakim, pengacara tidak bermoral sampai hukum yang berpihak pada kalangan tertentu.
Hingga kini proses penegakan hukum masih buram. Menurut Munarman hal ini terjadi akibat proses panjang sistem politik masa lalu yang menempatkan hukum sebagai sub-ordinasi politik. Sistem peradilan yang tidak independen dan memihak dengan dalih dan banyaknya kepenringan. Reformasi hukum yang dialkukan hingga kini belum menghasilkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan masih dibayangi oleh kepentingan dan unsur kolusi para aparat penegak keadilan dinegeri yang ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini.
Kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih keuntungan sepihak Yang diakatakan “demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela pihak tertentu. Akhirnya proses hukum di luar dan dalam pengadilan menjadi eksklusif milik orang tertentu yang berkecimpung dalam profesi hukum. Proses hukum menjadi ajang beradu taktik dan keterampilan "Siapa" yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontark sedemikan canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa memalui peradilan.[1]
Profesionalisme para penegak hukum masih banyak dipertanyakan berbagai kalangan. Independensi penegakan hukum mulai dipertanyakan, bahkan seluruh pelaksana-pelaksana yang berkaitan dengan penegak hukum dan memberi keadilan diragukan. Persamaan hak dihadapan hukum (equality before the law) hanya sekedar pemanis dalam pelaksaan hukum.
Harapan para penegak supremasi hukum-pun merupakan agenda penting dari reformasi. Namun sistem yang membawa keadilan ini seolah tak berdaya menguak dan membersihkan seitem yang penuh keitidak adilan. Satu hal yang menjadikan negara tetap diakui ekssistensinya yaitu menegakkan hukum. Keberhasilan atau kegagalan menjadikan hukum sebagai panglima keadilan sangat ditentukan oleh proses dan keputusan hukum yang dilakukan oleh negara saat ini. Upaya penegakkan hukum di Indonesia sendang berada disebuah persimpangan jalan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian di atas bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-segalanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima, melindungi dan mengatur seluruh warga negara tanpa memandang status dan kedudukannya. Untuk mengaktualisasikannya, hukum dan kostitusi itu harus ditegakkan sesuai dengan konsep supremasi hukum itu sendiri. Dengan demikan hukum dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Namun tidak demikan dengan dua Orde sebelmunya, sebagaimana diketahui di masa Orde Lama dan juga dan juga di masa Orde Baru, politik dan ekonomi dijadikan panglima.
Pemerintah Orde lama menitikberatkan strategi pembangunan di bidang politik, nuansa represi begitu kental mewarnai dunia perpolitikan pada masa itu, gerakan-gerakan yang bersifat masif Supremasi hukum diabaikan, sekalipun sesungguhnya aspek tersebut tercantum tegas dalam ke-3 konstitusi yang dibuat, namun hukum seolah-olah tidak menjadi landasan yang berarti sebagimana layaknya suatu negara hukum.
Di  masa Orde Baru, strategi pemerintah berubah ke strategi pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya strategi ini diyakini dapat memperbaiki kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa sebagaimana suatu negara yang berada dalam tahap tumbuh kembang. Dengan pertimbangan bahwa strategi pembangunan yang bercorak pro-pasar dan memasyarakatkan peran kalangan swasta serta kapitalis, dikeluarkannya perundang-undangan yang mendukung program ini. Misalnya dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan PokokPertambangan, UU No. 1 Tahun 1967 tenteng PMA, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan.[2]
Beberapa produk perundang-undangan tersebut menghasilkan bahwa peranan pemerintah  begitu besar dalam kepemilikan kekayaan negara dan hanya memikirkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperdulikan hak-hak warga negara sebagimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi. Akibat dari orientasi pembangunan yang demikian, pertambahan peranan aparat yang bertindak sebagai “pengawal pembangunan” menjadikan kebijakan negara mengerucut pada satu orang. Tanpa didasari Negara Hukum sebagaimana yang dicita-citakan semula beralih ke negara otoritarian. Sepremasi hukum yang seharusnya berada dalam derajat tertinggi sebagimana suatu ciri negar hukum, kembali hanya sebagai hukum yang mati (words on paper) yang hanya tertulis dalam konstitusi dan peraturan substantif lainnya.
Di era Reformasi seperti sekarang, kondisi tersebut belum juga membaik, malah ancaman disintegrasi bangsa mengemuka akibat dari euforia berakhirnya pemerintahan Orde Baru, suatu perubahan struktur politik yang begitu besar dan cepat mengakibatkan perlunya pembenahan seluruh sistem hukum yang ada, pemberian Otonomi Daerah yang dinilai kebablasan juga merupakan implikasi dari banyaknya tuntutan dari rakyat yang selama Orde Baru hak-hak asasinya merasa diabaikan.
Banyaknya peraturan perundangan harus dibuat atau diubah untuk mengatasi situasi yang terjadi selama masa peralihan antara Orde Baru ke Orde Reformasi. Reformasi segala bidang harus segera dilakukan dalam rangka mengatasi dan mengendalikan keadaan negara yang begitu cepat berubah. Sesungguhnya reformasi do bidang hukum sudah dimulai sejak sebelum Orde Baru berkhir, seperti yang termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 dan GBHN Tahun 1998.
Semenjak berlakunya kedua GBHN tersebut, legal policy dalam bidang hukum terus mengalami perkembangan, sebagai berikut: legal policy semenjak GBHN 1993 pengarturannya damsukkan dalam peringkat “sektor” bersama-sama denga sektor politik, Aparatur Pemerintah dan Hubungan Luar negeri dalam GBHN 1998 telah dimasukkan pengaturannya ke dalam peringkat “bidang” dan bila dalam GBHN 1993 hanya diatur mengenai tiga sub-bidang legal policy, yakni materi hukum, budaya hukum, dan sarana prasarana hukum, maka dalam GBHN 1998 terdapat dua tambahan sub-bidang, yakni budaya hukum dan Hak Asasi Manusia. Untuk menyoroti hal ini, yang harus dilihat alaha pengertia “hukum” dalam konteksnya sebagai suatu sistem. Menurut Lawrence M. Friedmann dalam bukunya “American law”, menyatakan elemen-elemen dari dalam sistem hukum meliputi Tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga (structure), ketentuan perundang-undangan (subtance), dan budaya Hukum (legal culture). Ketiga elemen ini dalam Hukum Amerika dipergunakan untuk menganalisis segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem hukum. Pendapat Friedmann mengenai ketiga elemen sistem hukum ini juga mempengaruhi klasifikasi elemen sistem hukum Indonesia. Hal ini tampak dari pandangan BPHN tentang elemen hukum yang juga tersurat dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998 tersebut. Dengan demikian apakah Indonesia telah melakukan perombakan hukum dalam masa ini, kita hatus mempergunakan ketiga elemen tersebut sebagai tolak ukurnya.

Dari segi substansi, di era reformasi ini sudah cukup banyak yang dikeluarkan dalam bidang penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturam-peraturan tersebut eksisi di tingkat Perubahan Konstitusi (UUD) hingga peraturan pelaksanaannya seperti UU, PP dan berbagai produk perundang-undangan lainnya. Dari segi hukum berkaitan dengan pemberlakuan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, telah dibentuk pula berbagai intitusi yang berkaitan dengan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dimasukkannya bidang HAM ke dalam institusi Kehakiman dan Pengadilan HAM Ad-Hoc dan berbagai institusi penunjang lainnya menunjukkan bahwa HAM sebagai Hak Asasi dari Warga Negara telah disetarakan kedudukannya dengan unsur hukum dan keadilan.
Seiring dengan berbagai agenda reformasi seperti konstitusionalisme dan hukum, mencul pula berbagai tuntuan keadilan dari masyarakt, perkara-perkara korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara sehingga kini hanya menjadi ajang komoditas politik belaka, sementara pejabat tersebut tetap dalam jabatannya semula tanpa merasa bersalah secara moral. Begitu banyak perkara-perkara besar lainnya yang menjadi perhatian berbagai kalangan, namun hingga kini belum terlihat arah penyelesaiannya, perosalan-persoalan tersebut pada akahirnya menimbulkan rasa sketisime di kalangan masyarakat yang mendambakan keadilan. Untuk mencari rumusan adil dan tidak adil sebagaimana tuntutan dari masyarakat tersebut kita harus merujuk hukum itu semata-mata menccari keadilan, aliran Utilitis menganggap bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan dan kebahagiaan warga. [3]
Jadi, Supremasi hukum  yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada adagium yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu bila berurusan dengan hukum kerana baik polisi, jaksa, hakim maupun pengacara terlibat dalan suatu mafia peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah tantangan besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen, dan bebas dari kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu  agenda yang teramat penting dan seharusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum pada masa globalisasi ini.
Penegak hukum dalam mewujudkan keadilan harus selaras dengan mentalitas yang bermoral bagi aparat penegak hukum. Hukum sebagi panglima mewujudkan keadilan menjadi barometer dalam kemajuan bidang lainnya sehingga kemajuan sektor lainnya dapat berjalan dalam koridor hukum yang baik. Penegakan hukum dalam masyarakat yang pluralis harus memperkuat tatanan kehidupan Pnacasila, UUD 1945, semangat Bhineka Tunggal Ika, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memperkut keutuhan NKRI.
Proses ini hatus dilakukan oleh rakyat secara aktif dalkam bentuk partisipasi politik mereka. Martabat manusia tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh negara, kepastian ini harus diatur dalam perundang-undangan yang pembuatnnya melibatkan patisipasi rakyat. Kemerdekaan pengadilan dan hakim dari intervensi siapapun atau apapun syarat mutlak suatu negara yang berdasarkan Hukum dan partisipasi rakyat dalam pembuatan perundang-undangan yang akan dijalankan pemerintah. Maka Supremasi Hukum dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah dicita-citakan dan akan terjadi penegakan hukum yang nyata serta tidak dalam “bayang-bayang” kepentingan suatu pihak.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat dikatakan sebagai negara hukum, yang mana negara tersebut harus menjadikan superioritas hukum sebagai aturan main dalam negara tersebut. Adapun pakar hukum yang memiliki nama Jhon Locke mendeskripsikan pengertian supremasi hukum serta menjabarkan syarat-syarat yang harus dimiliki untuk suatu negara bisa dikatakan sebagai negara hukum. Yang pertama suatu negara harus memiliki pengaturan hukum yang mengatur warganya dalam menikmati segala macam haknya. Lalu negara harus memiliki badan tertentu yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang timbul di pemerintahan. Yang terakhir suatu negara harus mengadakan atau membentuk suatu badan yang nantinya digunakan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul di kalangan masyarakat.



[1] Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2011 oleh Prof. Sudjito Bin Atmoredjo

[2] Peter Van Den Bosch. The Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials. Cambridge University Press. 2005
[3] Ahmad Zein Umar Purba. Hak Atas Kekayaan Intelektual Pasca Agreement On Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs). UI Press. 2003

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar