KEBIJAKAN PENAL DALAM PIDANA (PENAL POLICY)


Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek.
Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan Perundang-Undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari pada pembaharuan hukum pidana.
(Barda Nawawi, 2020: 24) Menyebutkan hal tersebut disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari, Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana, kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana dan kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel dalam (Aloysius Wisnubroto, 1999: 28-29) menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yaitu, tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial), tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 
Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif)

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar